Bagi banyak anak muda, perjalanan spiritual kadang terasa jauh. Tapi bagi sekelompok Gen Z yang berangkat ke tanah suci, Haramain bukan cuma nama dua kota—melainkan titik balik hidup mereka.
Perjalanan itu dimulai dari sebuah grup kecil bernama Hijrah Squad, berisi lima sahabat yang awalnya cuma sering nongkrong bareng, ngopi, dan curhat tentang hidup yang makin cepat tapi makin kosong. Mereka sepakat: tahun ini harus beda. Bukan liburan ke Bali atau Jepang, tapi ke dua kota suci — Madinah dan Makkah.
Madinah: Ketika Hati Mulai Tenang Tanpa Notifikasi
Begitu mendarat di Madinah, dunia seolah berhenti sejenak. Tidak ada suara notifikasi, tidak ada tuntutan algoritma, hanya ketenangan yang tidak bisa dijelaskan.
Masjid Nabawi menjadi rumah bagi jiwa-jiwa muda itu. Mereka duduk di pelataran masjid, membaca doa sambil menatap langit senja. Di sanalah, Rania—yang selama ini dikenal aktif di media sosial—menangis diam-diam. “Aku baru sadar, selama ini aku sibuk mencari validasi orang lain. Tapi di sini, aku cuma pengen dicintai sama Allah سبحانه وتعالى,” katanya lirih.
Setiap azan berkumandang, hati mereka bergetar. Mereka saling menatap, saling mengingatkan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, merasa benar-benar hidup.
Madinah bukan hanya kota. Ia adalah terapi bagi hati yang lelah. Aura Rasulullah ﷺ terasa di setiap langkah, di setiap salam, di setiap sujud.
Makkah: Kota yang Mengguncang Ego dan Menyucikan Niat
Dari Madinah, perjalanan berlanjut ke Makkah. Bus penuh dzikir, suasana hening tapi sarat makna. Begitu Ka’bah tampak dari kejauhan, semua mata berkaca-kaca.
Makkah tidak seindah Madinah dalam ketenangan, tapi ia megah dalam makna. Di kota ini, semua ego diuji. Panasnya terik, padatnya jamaah, dan ritual yang melelahkan membuat mereka sadar: ibadah bukan tentang kenyamanan, tapi tentang keikhlasan.
Rafi—yang dulu sering merasa hidupnya “kosong meski ramai”—mengaku Ka’bah membuatnya menangis tanpa alasan. “Pas lihat Ka’bah pertama kali, aku merasa semua dosa kayak ditampakkan. Tapi anehnya, aku juga merasa diterima apa adanya,” ucapnya sambil menghapus air mata.
Di Makkah, setiap detik seperti cermin. Menyadarkan bahwa manusia sering lupa, sering lalai, tapi Allah سبحانه وتعالى selalu membuka pintu ampunan seluas langit.
Air Mata dan Doa di Tengah Malam
Setiap malam, mereka thawaf di bawah langit Makkah. Udara malam terasa hangat, dan suasana begitu hening meski ribuan orang mengelilingi Ka’bah. Tidak ada lagi gengsi, tidak ada lagi status sosial. Semua sama di hadapan Allah سبحانه وتعالى.
Salah satu dari mereka, Fadhil, menuliskan di jurnalnya:
“Di sini aku nggak cuma berdoa untuk masa depan. Aku juga berterima kasih karena akhirnya bisa ‘berhenti’ sejenak. Haramain bukan sekadar tempat, tapi pengingat bahwa hidup ini nggak melulu tentang mengejar, tapi juga tentang bersyukur.”
Mereka belajar arti sabar lewat antrean panjang. Belajar arti syukur lewat makanan sederhana. Belajar arti cinta lewat senyum para jamaah dari berbagai negara yang saling membantu tanpa kenal bahasa.
Madinah dan Makkah: Dua Kota, Dua Pelajaran Hidup
Madinah mengajarkan cinta yang lembut, Makkah mengajarkan cinta yang tegas. Madinah membuat mereka tenang, Makkah membuat mereka kuat. Dan keduanya menyatu dalam satu makna besar: kembali kepada Allah سبحانه وتعالى dengan hati yang bersih.
Setelah sepekan di dua kota suci itu, mereka pulang dengan hati yang berbeda. Tidak ada lagi keluhan soal dunia yang “toxic”, tidak ada lagi keinginan pamer di media sosial. Yang tersisa hanyalah rindu untuk kembali.
“Kalau nanti aku mulai lupa, ingetin aku ya buat balik ke Haramain lagi,” kata Rania saat perjalanan pulang. Semua mengangguk, lalu hening. Karena mereka tahu, rindu ini nggak akan pernah selesai.
Haramain: Rumah Rindu yang Tak Pernah Padam
Kini, setahun setelah perjalanan itu, hidup mereka berubah. Mereka lebih sabar, lebih damai, dan lebih sadar bahwa setiap napas adalah anugerah. Mereka masih aktif di dunia digital, tapi dengan tujuan yang lebih bermakna—menginspirasi teman-teman seumuran mereka untuk juga berani mengambil langkah yang sama.
Karena ternyata, untuk menemukan makna hidup, kadang kamu hanya perlu berhenti sejenak. Menunduk. Bersujud. Dan membiarkan hati menyatu dengan cinta dari dua kota suci: Haramain.